Aku, Misteri dan Pembalasan #4

#4 Perempuan dan Tongkat Pemukul


Perkelahian kami menimbulkan seisi ruang toilet menjadi gaduh. Aku kalah dalam perkelahian itu. Hampir saja aku mati dengan sebilah pisau yang menancap di leherku.
Dan sampai pada akhirnya, ada seorang perempuan yang tiba-tiba datang dan menyelamatkanku. Orang dengan jubah itu jatuh terkapar ke lantai karena tongkat yang dipukulkan perempuan itu tepat mendarat di pundaknya.
Kemudian, aku dituntun berlari meninggalkan toilet dengan tubuh terhuyung-huyung dan pandangan yang masih kabur.
Kemana aku akan dibawa lari?


Kepalaku masih saja sakit karena tendangan itu. Lumayan keras dia menendang kepalaku.
Aku masih berlari dengan perasaan yang bingung, atau ini bisa dibilang senang. Tapi aku belum mengetahui siapa perempuan berambut panjang nan indah ini.
Aku masih tidak tau kemana aku dibawa pergi. Saat ini aku hanya harus berlari dan tetap tersadar.

"Ayo cepat, kita harus menjauh dari orang aneh tadi," ucap perempuan itu.

Ya, benar.
Aku harus tetap berlari.
Rasanya aku bisa mempercayai orang ini.

Setelah tiba di lantai dasar, pelarian kami terhenti di depan sebuah pintu yang sudah tua dan kotor.
Aku tau. Ini gudang sekolah lama.
Pintu ini terkunci. Ada gembok yang terpasang di daun pintu. Tetapi, kelihatannya gembok itu telah berkarat.

Aku, Misteri dan Pembalasan
 sumber : tripadvisor.com

"Sial, digembok!" Perempuan itu mengangkat tongkat baseball.

Sepertinya, dia ingin menghancurkan gembok itu.

Taang!!!

Benar saja, dia menghancurkan gembok itu.

"YURIKA!" Dia bersorak.

Dia cukup kuat untuk seorang perempuan.
Aku hanya bisa memandang dengan tubuh yang terkulai lemas. Bahkan aku hampir tidak bisa berucap kata.
Setelah pintu dibuka, aku dituntun masuk ke dalam gudang. Hanya langkah kecil yang bisa ku ambil karena tenagaku sudah cukup terkuras.

Tak lama kemudian, kami telah berada di dalam gudang tua ini.
Tubuhku disandarkan pada salah satu sisi dinding gudang. Lalu dia menutup pintu gudang tadi dan menghalanginya dengan sebuah meja agar tidak dapat dibuka dari luar. Kini hanya kami berdua yang ada di dalam gudang.
Leganya bisa duduk setelah melewati ini semua. Gudang ini kotor, dan hanya ada satu lampu yang menyala. Ruangan ini tidak sempit, cukup untuk mendirikan beberapa rak besar.
Rasa penasaranku makin tumbuh pada perempuan itu.

"Hey, siapa kamu? Kenapa kau menolongku tadi?" kumulai percakapan.

"Maaf, aku belum memperkenalkan diriku," sahut perempuan itu, "Namaku, Tiara. Tiara Wulandari."

"Baiklah, Tiara. Kenapa kau mau menolongku tadi?" tanyaku.

"Ayolah. Bukan begitu caranya berterima kasih pada wanita," ujar Tiara sambil duduk dan bersandar pada dinding di sampingku.

"Apa maksudmu?"

"Kau bahkan belum memperkenalkan dirimu," sahut Tiara dengan tampang masam.

"Oh ya, maaf. Namaku Dika. Dika Prasetyo," jelasku.

"Baiklah Dika, bagaimana kau bisa berkelahi dengan orang itu?"

"Aku sangat ingin mengetahui siapa orang itu," ujarku sembari menatap Tiara.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan jika mengetahui orang itu?"

"Hmm. . . Aku tidak tau." Pandanganku berubah arah menatap sinar lampu redup di langit-langit gudang.

"Sekarang ini menjadi membingungkan. Ada orang berjubah aneh di dalam sekolah, kemudian ada seorang siswa terlibat baku hantam dengan orang aneh itu," lanjut Tiara, "Di dalam toilet pula."

"Tentang perkelahian itu, semuanya bisa kujelaskan."

Dengan sangat rinci, kujelaskan bagaimana semua kejadian ini bermula. Mulai dari Roy dipanggil oleh Bu Prin, sampai ada seorang guru yang terbunuh. Hingga pencarianku terhenti di dalam ruang toilet.

"Dan hingga saat ini, aku belum dapat menemukan dimana Roy berada," jelasku dengan perasaan khawatir.

"Menurutmu, apa motif si pria berjubah itu ingin membunuhmu?" tanya Tiara diantara kegelisahanku.

"Dia mencoba membunuhku untuk melenyapkan diriku dengan melempar batu itu. Berarti menurut dia, aku orang yang sangat berbahaya untuknya," ujarku mengira-ngira.

"Jika kau adalah orang yang berbahaya untuknya, pasti dia tidak mau kau mencampuri urusannya," lanjut Tiara yang juga mengira-ngira.

"Tetapi, bukankah kami harus mengenal terlebih dahulu agar kami saling tau betapa bahayanya seseorang," jelasku.

"Kalau begitu dengan kata lain, orang berjubah itu mengenal dirimu!" Ungkap Tiara dengan opininya.

"Ta. . . Tapi siapa dia?" tanyaku penuh ketakutan.

"Yang pasti dia adalah orang yang mempunyai urusan denganmu."

"Aku tidak pernah berurusan dengan orang lain, aku pun tidak memiliki masalah dengan orang lain," jelasku sambil membersihkan kotoran di seragamku.

"Jika menurutmu kau tidak memiliki masalah, berarti orang aneh itu tau bahwa kau mengetahui apa yang tidak seharusnya orang lain ketahui," ujar Tiara.

"Hal penting apa yang aku ketahui sebenarnya?" pikirku dalam hati.

"Hey, janganlah melamun seperti itu. Itu membuatku takut," ucap Tiara.

"Tidak, aku hanya sedang berpikir," lanjutku, "Oh ya, terima kasih karena sudah menolongku tadi."

"Ya, sama-sama. Apakah butuh alasan untuk menolong orang yang sedang kesulitan?"

"Hmm, tidak juga. . . ," sahutku.

"Apa?"

"Eh, tidak apa-apa. Kalau bukan karena kau menolongku tadi, mungkin aku hanyalah tinggal nama."

Suasana menjadi hening sesaat.
Kami sepakat, belum akan meninggalkan gudang karena ada kemungkinan kami bertemu dengan pria berjubah tadi. Kami berusaha untuk menghindari perkelahian lagi . Walaupun kami berdua dan pria bertopeng itu sendiri, aku tidak mau Tiara terlibat dalam perkelahian. Lagi pula, pria yang ingin membunuhku itu membawa senjata tajam. Tentu sangat berbahaya untukku dan juga untuk Tiara.

Jam di pergelangan tangan Tiara menunjukkan pukul 4 sore. Sudah cukup lama kami bersembunyi di dalam gudang.
Aku baru tersadar, tasku kutinggal di pos penjaga. Oh ya, Pak Dudung!
Dasar bodoh! Kenapa aku baru teringat beliau?
Aku bisa saja meminta bantuan beliau untuk permasalahan ini.

Akhirnya, aku dan Tiara memutuskan untuk keluar dari gudang dan menuju pos penjaga dengan segera.
Meja yang menghalangi pintu gudang, kami tarik bersama. Setelah pintu terbuka, kami pun lekas keluar.
Hari mulai senja, tak terlihat seorang pun yang berlalu-lalang melintasi koridor. Kami pun segera melangkah.
Tiara mengusulkan untuk berlari agar lebih cepat mencapai pos penjaga.

"Dika, kita berlari saja. Bukankah lebih cepat lebih baik?" usul Tiara padaku.

"Tidak, lebih baik kita jalan perlahan," aku menolak usulan itu.

"Loh, kenapa?"

"Resikonya terlalu besar. Hentakan sepatu kita berdua akan menimbulkan suara yang berisik saat berlari, sehingga memancing pembunuh itu melihat kita," jelasku pada Tiara.

"Baiklah." Tiara mengangguk pertanda bahwa dia setuju.

Kami berjalan dengan waspada dan hati-hati. Kami akan kerepotan nanti jika bertemu pria berjubah itu. Tidak lupa juga Tiara membawa tongkat pemukulnya.

Dalam perjalanan, tidak nampak sedikit pun orang itu. Kemana dia? Apakah dia mencari kami di sisi lain sekolah ini?
Tak butuh waktu lama. Akhirnya kami di pos penjaga tanpa gangguan pria berjubah.
Tapi. . .
Gerbang sudah ditutup!
Pantas saja dari tadi kami tidak melihat orang satu pun.
Lalu, kemana Pak Dudung?
Di pos penjaga sepi. Apakah Pak Dudung pulang begitu saja?

Kami sangat bingung saat itu. Bisa jadi kami terkurung dengan pria aneh tadi.
Ditengah kebingungan kami, ada kejadian yang sungguh mengejutkan.

Pria berjubah dengan memakai topeng aneh itu muncul dibelakang kami dengan menggenggam sebilah pisau yang lebih panjang dari yang tadi!
Astaga. . . !
Apa yang harus kami lakukan?
Apakah kami sekarang akan mati bersama?

-- Bersambung --
Previous
Next Post »