Aku, Misteri dan Pembalasan #5

#5 Di belakang Kami


Aku, Misteri dan Pembalasan
sumber : nytimes.com


"Hati-hati, Tiara. Kita harus berjalan dengan tenang, jangan sampai pria berjubah itu menangkap kita."

"Tapi, Dika. Apa yang akan dia lakukan jika kita tertangkap?"

"Aku tidak tau pasti. Mungkin kita akan. . . Dibunuh!"

Perjalanan kami menuju gerbang sekolah terasa berjalan lancar. Sunyi, senyap. Tidak ada satu orang pun terlihat selain kami berdua. Agak aneh.
Hal ini yang makin membuat kami lebih waspada.

Kami pun sampai di gerbang sekolah, tapi . . .
Gerbang ditutup!
Gembok yang kuat pun seakan menjaga gerbang ini dari semua yang akan menyerang.
Pos penjaga pun sepi. Tak terlihat pak Dudung di sana.
Dan pada akhirnya muncul pria topeng berjubah di belakang kami.

"Hai, kita bertemu lagi. Sepertinya toko cenderamata kehabisan kepala mainan." Terdengar suara berat itu dari balik topeng kayunya.

Astaga!
Bagaimana orang itu bisa tiba di belakang kami?
Padahal tadi aku sudah yakin betul tidak ada siapa-siapa yang membuntuti kami.
Tiara bergidik. Dia bersembunyi di belakangku dan menggenggam tanganku dengan erat.

"Wah! Rupanya perempuan ini yang tadi berani memukulku!" Pria berjubah itu terdengar kesal.

"Mana mungkin kau tau?! Kau kan tadi pingsan," ujarku heran.

"Kau pikir aku ini lemah dan bodoh?" ledek pria itu, "Aku hanya sengaja mengalah untuk mengetahui siapa yang membuat suara langkah kecil di luar toilet."

Apa? Yang benar saja.
Bagaimana dia bisa mendengar suara langkah itu sedangkan kami sedang bergulat di dalam toilet yang bising?
Pembohong besar.
Di balik tubuhku, Tiara makin erat menggenggam tanganku. Terlihat raut wajah penuh ketakutan yang menghinggapi dirinya saat aku berpaling untuk menatap wajahnya.

"Tenang, Tiara. Ekspresi ketakutanmu itu malah akan membuat dia semakin yakin untuk menghabisimu," ujarku pada Tiara setengah berbisik.

"Tapi. . . ,"

"Sudahlah, aku harus mencari cara agar kita bisa selamat dari bajingan ini," potongku.

Berdiri tegak gemetar terpaku. Dalam pikirku aku hanya harus selamat, tidak, bukan aku saja tapi kami berdua harus selamat.
Melompati pagar. Aku bisa, tapi tidak tau dengan Tiara. Lagi pula kami tidak punya waktu sebanyak itu untuk memanjat.
Melawan. Kami memang berdua. Tapi, aku yakin kami pasti kalah di tangan orang itu. Lihatlah pisau kotor yang lumayan panjang itu.
Lari menjauh. Ya, kurasa saat ini ide itu bisa sangat berguna.
Tapi kemana.
Aku melirik sekitar. Mencari kemungkinan terbesar kami bisa berlari.
Untungnya lokasi gerbang tidak menjorok keluar sehingga kami bisa lari ke arah samping.

Tapi, bagaimana jika dia berhasil menangkap kami?
Tentunya aku sudah bisa menerkanya. Aku sudah menerima semua resiko dan konsekuensi yang akan aku dapatkan. Dibunuh.
Apakah Tiara juga akan dibunuh?
Aku sudah tidak memiliki waktu lagi. Aku harus segera meninggalkan mulut gerbang ini.
Dengan tiba-tiba Tiara berbisik, "Bagaimana dengan belakang gedung sekolah? Aku punya tempat aman untuk bersembunyi."

"Hey, ayolah. Jika dia melihat kita masuk ke tempatmu, itu sama saja bunuh diri," balasku dengan suara pelan.

"Tapi, kita hanya harus berlari bukan?" tanya Tiara yang genggaman tangannya semakin gemetar.

Tiara benar. Kami hanya harus berlari.
Apapun resiko yang harus kuhadapi.
Aku harus berlari sekarang.

"Sekarang saatnya!" Aku berbisik pada Tiara.

Dengan sigap, aku menarik tangan Tiara dan membawanya berlari ke arah samping. Aku harus berlari sekencang-kencangnya. Menyusuri dinding pagar pembatas kurungan iblis ini dengan dunia luar.
Kedua tanganku sama-sama menggenggam. Tongkat pemukul dan sudah pasti lengan Tiara.
Terus berlari dengan kencang. Berlari dan tetap berlari. Pada sampai akhirnya ada kurasakan sesuatu yang aneh.

Dalam pelarianku, aku tidak mendengar hentakan suara orang berlari selain kami berdua. Yang pada akhirnya membuatku terheran.
Masih dalam keadaan berlari. Kusempatkan kepalaku untuk menoleh ke belakang. Dan ternyata. . .
Apa?!
Pria berjubah itu tidak mengejar kami!
Kenapa dia tidak mengejar? Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
Kini aku semakin dibuat heran olehnya. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana jalan pikiran orang itu.

"Hey, Tiara. Coba kau lihat itu!"

Tiara menoleh sebentar sembari terus berlari. Terlihat wajah kecemasan yang menampak dari mata coklatnya.
Mungkin dia masih takut dengan hal tadi.
Ada pertanyaan yang kembali terngiang-ngiang di kepalaku.
'Mengapa pria itu tidak mengejar kami?'

Apakah dia tau bahwa kami memang tidak bisa keluar dari sini.
Atau kah memang dia tidak mau ambil repot untuk mengejar kami berdua.
Padahal bisa dengan mudah dia melemparkan pisaunya itu tepat ke arah kami saat kami belum sangat jauh berlari. Apa sih yang dipikirkan orang itu. Menatap kami berlari dari balik topengnya dengan sikap berdiri yang santai dan tenang.
Kami seperti hewan ternak dalam kandang. Dibiarkan berlari dalam kandang dengan tau jelas bahwa hewan ini tidak bisa kabur dari kandangnya.

Dengan segala opini yang bergema di kepalaku, gerakanku makin melambat. Tiara juga menyadarinya.
Lalu Tiara mengambil alih menuntun pelarian ini ke arah belakang sekolah.

"Kita hampir sampai," ujar Tiara.

Tak lama kemudian, kami sampai di kebun belakang. Tujuannya kebun?
Apakah dia serius?

"Kau ingat kan? Tujuan kita berlari bukan untuk menikmati pemandangan bunga sore hari?" tanyaku penuh heran.

Lalu Tiara melepaskan genggamannya dari tanganku. Dan berjalan menuju taman, melangkah di antara bunga-bunga yang bermekaran.
Yang pada akhirnya langkahnya terhenti dan pandangannya fokus pada satu bunga yang tumbuh di antara bunga-bunga lain.

Aku hanya bisa berdiri mamatung melihatnya seperti mencari-cari sesuatu yang tidak kuketahui. Tak tau apa yang harus kulakukan saat itu. Tapi, dia yang menuntunku sampai ke sini. Sungguh membingungkan.

Tiara masih menatap pada satu bunga yang terlihat biasa saja. Mungkin karena aku tidak menyukai bunga maka semua bunga ku anggap biasa.
Dengan perlahan, Tiara membungkukan badan ke bunga itu. Menyentuh bunganya.

"Apakah bunga itu akan kau selipkan di antara rambut dan telingamu?" tanyaku mengejek, "Apa yang kau lakukan, Tiara? Kita harus bergegas."

Apa tujuannya membawaku kemari.

"Bunga ini akan membantu kita," ucap Tiara.

"Membantu? Yang benar saja kau." Aku mulai gelisah.

Tiba-tiba, Tiara memetik bunga yang sudah diperhatikannya sedari tadi. Astaga, tangkai bunganya panjang sekali. Itu pun masih terbenam di tanah hingga Tiara berdiri.
Lalu. . .
Bagian tengah taman mulai berlubang!
Membesar, semakin besar. Pada akhirnya lubang itu berhenti membesar. Membentuk persegi sempurna!
Apa itu? Sebuah lubang?

"Ayo cepat, kita masuk ke dalam sebelum tertutup kembali!" Ajak Tiara dengan semangat.

Aku masih terheran dengan apa yang kulihat barusan. Mulutku ternganga seperti tidak mungkin hal barusan akan terjadi.

"Ayo, Dika!" Ujar Tiara sambil kembali menuntunku ke lubang itu, "Ini adalah pintu masuk ruang bawah tanah."

Hah?!
Ruang bawah tanah?
Aku baru tau, selama ini. Di sekolah ini terdapat hal semacam ini.
Tiara menuntunku. Tepat kami berdiri di depan lubang itu, terlihat anak tangga yang menuju ke bawah walau terlihat agak samar dan gelap.

Beranikah aku masuk ke lubang ini?
Ada apa dibawah, dan mengapa Tiara tau tentang pintu rahasia ini?

-- Bersambung --
Previous
Next Post »