Aku, Misteri dan Pembalasan #6

#6 Pintu Bawah Tanah


Tunggu sebentar, sejak kapan lubang itu ada di taman kecil ini?
Sudah 3 tahun aku belajar di sekolah ini, tetapi aku tidak pernah mengetahui ada hal semacam ini di sekolahku. Jantungku mulai berdegup kembali.

Kemana perginya pria bertopeng dengan jubah hitamnya itu? Sungguh mengherankan karena dia tidak mengejar kami. Tapi yang penting kami selamat untuk sementara waktu dari kejaran pria misterius itu.


Aku, Misteri dan Pembalasan
sumber : freesimplecms.com

"Dika!" Seketika Tiara memanggilku. "Kenapa kau diam saja? Ayo kita segera masuk kedalam!"

"Aku masih ragu dengan apa yang terdapat di dalam sana," cemasku.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Tiara langsung menarik lenganku dan menuju lubang yang menganga di tengah taman.
Terlihat dari atas lubang, ada anak tangga yang langsung menuju ke bawah tanah. Seperti... lorong.
Jantungku mulai berdegup kembali, dan kekhawatiranku semakin menjadi-jadi.

"Apakah kau yakin, Tiara?"

Dengan cepat dia menuntunku masuk ke dalam lubang itu. Apa sih yang ada di dalam otak anak ini?
Tidak lama, kami mulai menapakkan kaki ke anak tangga. Anak tangga ini terbuat dari kayu, tapi aku tidak tau kayu apa yang dipakai untuk membuat tangga ini.
Kami pun mulai melangkah turun.
Baru beberapa langkah kami turun, aku seperti menginjak sesuatu yang timbul ke atas, ada bagian kecil dari anak tangga yang timbul!
Aku menapaki bagian yang timbul itu, pada saat itu juga pintu masuk yang kami lewati tadi tertutup rapat sempurna. Tidak ada seberkas cahaya yang masuk melalui pintu masuk tadi.
Dalam sekejap pun, lorong anak tangga menjadi gelap gulita. Ini seperti... tombol pintu. Semuanya tidak terlihat. Seragam putihku pun tidak nampak.
Aku tidak bisa melihat Tiara di dalam kegelapan ini. Dan pada akhirnya aku pun mulai khawatir.

"Tiara, kau masih disini?" tanyaku dalam gelisah.

"Ya, aku tepat berdiri di depanmu," sahut Tiara diikuti suara gema.

Dalam seketika, lorong tangga menjadi terang. Terlihat kembali wajah Tiara yang manis nan cantik dengan seragam baseball—nya.

"Apakah kau yang menyalakan lampunya?" tanyaku senang.

"Bukan. Bahkan aku sedari tadi berdiri mematung karena disini sangat gelap," jelasnya.

"Mungkinkah kayu pipih tadi yang kuinjak berhubungan dengan cahaya-cahaya ini?" pikirku menerka.

Sepanjang lorong ini memang terlihat lampu kecil yang menggelantung di langit-langit lorong, seakan menemani kami di dalam sini.

"Bagaimana cara kita keluar?" tanyaku pada Tiara yang masih terlihat kaget.

"A...Aku tidak tau."

"Kau kan yang membawa kita ke dalam sini, jadi bagaimana kau tidak mengetahui cara kita keluar dari sini?" tanyaku sembari memegang kedua pundak Tiara.

"Sungguh, aku tidak tau."

"Lalu, kenapa kau bisa mengetahui ada tangga tersembunyi yang menuju ke bawah?"

Tiara terdiam. Raut wajahnya tidak beraturan, seperti mengingat-ingat sesuatu. Tapi aku tidak tau apa yang dia pikirkan. Dengan kedua tanganku yang masih memegang pundak Tiara, aku berusaha bertanya lagi.

"Hey, kenapa kamu diam saja? Atau jangan-jangan kau juga komplotan dari pria bertopeng itu?!" Secara tidak sadar, aku membentak Tiara. Mungkin karena aku terpancing emosi.

"Tidak! Itu tidak benar, sungguh!" Tiara mengelak dengan mantapnya.

"Lalu apa yang kau pikirkan itu?"

"Aku ingin memberi tau sesuatu padamu, Dika," jelas Tiara gelisah, "Tapi, kita harus berjalan terus ke bawah."

"Memberi tau apa?" tanyaku yang masih keheranan.

"Pokoknya kita harus menelusuri anak tangga ini hingga ke ujungnya."

Mau tidak mau, aku harus menuruti apa yang Tiara inginkan. Hanya demi untuk mengetahui apa yang akan dia beritahu. Aku sudah memaksanya untuk menjelaskan semuanya di lorong tangga saja, tetapi dia tetap tidak mau.

Kami mulai berjalan menelusuri tangga demi tangga dengan lampu-lampu yang setia menggantung di atas. Kesunyian kami diiringi suara langkah kaki kami yang bertapak di atas anak tangga yang terbuat dari kayu. Tidak dari seorang kami berbicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing untuk menebak-nebak apa yang ada di ujung lorong ini. Dengan perasaan was-was, takut dan gelisah mataku tidak berkedip sekalipun. Aku hanya ingin segera mengetahui ujung lorong tangga ini. Beberapa kali Tiara ku panggil tetapi dia tidak mau menjawabku.
Langkah kaki kami menggema. Tiara yang sedari tadi jalan di depan seperti tidak merasakan takut sepertiku. Anak ini memang susah ditebak jalan pikirannya.

Kami berjalan terus, sampai pada suatu ketika aku melihat seberkas cahaya yang lebih terang di depan dari pada di lorong tangga ini.
Sebenarnya apa itu?
Aku dan Tiara bergegas menghampiri cahaya terang di depan. Dengan langkah kecil perlahan kami turun menindih anak tangga satu-persatu.
Walau begitu, kami harus hati-hati agar tidak sampai terpeleset. Kami berjalan beriringan di bawah cahaya redup untuk sampai ke ujung lorong yang lebih terang.

Tak lama, kami sampai di mulut lorong.
Dan, apa?! Ada sebuah ruangan.
Siapa yang telah membuat ruangan ini?
Aku dan Tiara melongo terkagum. Karena ruangan yang kulihat itu seperti goa tapi dengan rancangannya rapi dan apik.

Saat aku mulai ingin menginjakkan kaki di ruangan itu, tiba-tiba saja aku mendengar seseorang berbicara. Sepertinya suara lelaki.

"Apakah sudah aman?"

Suara yang berat dan serak menggema di ruang goa di depanku. Laki-laki itu bertanya, tapi pada siapa?

"Ya, baiklah. Kita lanjutkan sekarang." Terdengar suara yang berbeda. Laki-laki juga.

Sepertinya mereka hanya 2 orang saja. Lepas percakapan, tidak ada yang berbicara lagi. Semuanya menjadi hening.
Lalu terdengar langkah kaki. Mereka berdua mulai beranjak. Kemana? Mungkinkah mereka akan berjalan ke arah kami? Kami tidak berani menengok ke dalam ruangan, takut-takut jika kami nanti ketahuan.
Aku menggenggam tangan Tiara dengan erat. Tiara juga merasakannya bahwa aku sangat khawatir. Apa yang harus aku lakukan jika mereka menemukan kami disini.

Tapi, tunggu...
Suara langkah kaki mereka makin tersamar. Rupanya mereka pergi menjauh. Huuhh...
Aku menarik nafas lega, hampir saja tadi.

"Sepertinya mereka sudah pergi," bisikku pada Tiara.

"Ya, menurutku juga begitu. Ayo kita masuk ke dalam," ajak Tiara.

Aku mengintip sesaat.
Tidak ada siapa-siapa.
Kami mulai masuk ke ruangan itu. Setelah kami masuk, aku melihat sekeliling. Luar biasa, ini seperti goa. Langit-langit dan dindingnya rapat dengan batu. Sebenarnya tempat apa ini?
Oh ya, aku teringat akan penjelasan Tiara.

"Hey, sebenarnya tadi apa yang ingin kau ucapkan? Jangan buat aku mati penasaran dong," tanyaku.

"Jadi begini...."

Belum selesai Tiara berbicara, ada suara langkah kaki yang terdengar. Suaranya makin dekat ke arah kami.

"Sialan!" Aku kesal dan bingung saat itu juga.

Kemana kami bisa pergi, sedangkan langkah kaki itu terus mendekat.

-- Bersambung --
Previous
Next Post »