Aku, Misteri dan Pembalasan #8

#8 Mulai Melangkah


"Hiii... Mari berteman...."

Baru membayangkan suaranya saja aku sudah merinding. Apalagi jika bertemu lagi... Hiii....

Kami mulai menjelajahi lorong-lorong goa yang agak gelap ini. Aku dan Tiara berjalan kearah kemana dua orang yang mengobrol tadi pergi. Aku masih tidak menyangka ada goa di bawah sekolahku. Lagi pula, siapa orang-orang itu. Apakah mereka yang membuat goa ini?
Ah mana mungkin, mereka kan hanya berdua. Mana bisa mereka membuat goa seperti ini, pasti membutuhkan orang banyak.



sumber : www.trilulilu.ro


Hmm... sirkulasi udara disini cukup baik. Pandai sekali yang membuat goa ini, orang yang masuk tidak akan merasakan pengap di bawah sini.

"Kamu kira, siapa ya yang membuat tempat seperti ini?" ocehku membuka percakapan di perjalanan.

"Mungkin saja tikus bawah tanah yang sangat besar," sahut Tiara berkelakar.

"Hahaha, kau terlalu banyak nonton kartun," ejekku menyahuti.

"Tidak ada salahnya menonton kartun, dari pada terus memakan mentah-mentah acara reality sampah, haha..." ujar Tiara.

"Kau betul juga, sudah cukup kacau pertelevisian sekarang. Apalagi jika melihat anak kecil menjadi korban sinetron binatang sok romantis, sangat miris." Aku juga mengajukan pendapatku.

"Mengajarkan kepada mereka secara tidak langsung keadaan yang tak patut dilakukan di sekolah. Fantasi yang tidak sesuai usia sasaran," ucap Tiara sembari merapikan rambut indahnya.

"Mungkin peran orang tua sangat berpengaruh untuk anak-anak mereka terhadap tontonan yang mereka makan," saranku berceloteh.

"Ya, memang sangat berpengaruh. Begitu pun juga dari pihak pertelevisia...."

Duggg!!!

Belum selesai Tiara berbicara, dia jatuh tersungkur.

"Tiara, kau tak apa?" tanyaku dan membantunya berdiri.

"Iya, aku tak apa-apa. Duh, duh, duh... Tersandung apa aku tadi?"

Aku langsung menatap ke bawah. Ternyata hanya batu.

"Hahaha cuma batu. Makanya kalau jalan itu lihat ke depan, jangan ngeliatin aku terus dong," hiburku berkelakar.

"Ah kau ini, cepat tolong aku berdiri."

"Hehe iya deh iya."

Tak lama setelah Tiara bangun, kami berdua melihat pertigaan lorong di depan.

"Hey lihatlah, kita bertemu pertigaan," ucapku memberitahu.

"Menurutmu, jalan mana yang kita harus ambil?" tanya Tiara yang sedang membersihkan pakaiannya.

"Untuk saat ini lebih baik kita tetap bersama," lanjutku, "Kita harus mengambil jalan yang sama."

"Ya, Dika. Aku juga merasa harus seperti itu."

"Baiklah, kita ambil jalan di sebelah kanan dahulu."

Tapi sebelum kami beranjak, aku menyempatkan memperhatikan batu yang tadi menyandung kaki Tiara. Jika diperhatikan dengan seksama, bentuk batu ini agak unik. Batu ini berbentuk segitiga, yang di setiap sudutnya mengarah ke ketiga jalan ini.
Satu sudut mengarah dari mana kami datang. Satu sudut lagi mengarah ke jalur kanan yang akan kami ambil. Dan satu sudut lainnya mengarah ke jalur kiri. Dan yang terpenting adalah, batu ini tidak bisa digeser. Memang sudah tertanam di tanah.
Batu ini bisa kami jadikan petunjuk arah jika kami berbalik dari jalur kanan nanti.

"Tiara, tunggu dulu," kataku sambil berjalan ke arah dinding.

Aku mengambil enam kerikil kecil, lalu kembali ke batu berbentuk segitiga tadi.
Kemudian, aku mulai menyusun kerikil-kerikil tadi di setiap sudut batu segitiga.

"Hmm, Dika. Untuk apa batu-batu kecil itu?" tanya Tiara yang ikut memperhatikan sambil jongkok.

"Hehe otakku mulai bekerja. Jadi begini... Aku tadi mengambil beberapa kerikil. Kemudian di setiap sudutnya akan ku taruh beberapa kerikil yang jumlahnya berbeda-beda.

"Satu kerikil di sudut yang mengarah dari mana kita datang tadi. Dua kerikil di sudut yang mengarah ke jalan kanan yang akan kita ambil. Lalu tiga kerikil di sudut yang mengarah ke jalan kiri," jelasku pada Tiara.

"Jadi...?" tanya Tiara yang masih keheranan.

"Jadi... jika kita nanti berbalik dari jalan kanan, kita akan bertemu dengan batu segitiga ini. Kita bisa membedakan mana jalur kiri dan mana jalur dari mana kita datang sehingga kita tidak akan tersesat," jelasku kembali.

"Waahh, Dika. Kau pintar juga!" Tiara berseru dan menepuk tangannya.

"Haha iya dong! Siapa dulu...."

"Ada lagi yang kau rencanakan?"

"Tidak, hanya itu. Yang terpenting sekarang adalah kita jangan sampai berpisah dulu. Kita harus menemukan tempat yang aman untuk beristirahat. Dan...."

"Dan...?" tanya Tiara.

"Dan kau harus menceritakan yang akan kau bicarakan,"

"Ya, baiklah."

"Ingat dengan orang-orang tadi. Jangan sampai kita ketahuan oleh mereka," lanjutku sambil membersihkan tanganku.

"Siap, kapten!"

"Ayo, jangan buang-buang waktu lagi. Sepertinya ingin menjelang malam," ujarku setelah melihat jam tangan Tiara.

Kami mulai melangkah ke arah jalan kanan. Entah apa yang akan kami temukan di depan nanti.
Sunyi sekali di dalam sini, tidak ada suara apapun selain suara langkah kaki kami berdua. Diriku mulai bertanya-tanya, sebenarnya siapa Tiara ini. Apakah dia bisa terus kupercayai. Sepertinya dia tidak begitu mencolok di dalam sekolah.
Aku tidak sadar kalau sedari tadi menatap Tiara terus-menerus sambil jalan.

"Apa yang kau lihat, ha?" tanya Tiara mendadak.

"Eh, eh, bukan apa-apa," jawabku kaget.

"Awas saja jika kau berfikiran yang tidak-tidak.Akan ku pukul kau menggunakan tongkatku!" Tiara berseru sambil mengayunkan tongkat pemukulnya ke tangannya.

"Huu, galak banget. Makannya apa sih?" ucapku menghibur.

"Makan manusia kalau lagi sebel," jawabnya dengan membuang muka.

"Biasanya dijadiin rendang apa sop?"

"Tumis-tumis enaknya. Apalagi orang bawel kayak kamu!"

"Apaan? kumis?"

"Tumiiiisss...!!! ih ngeselin...."

*tang... tang... tang... tang...*

Percakapan kami terpotong oleh dentungan besi yang entah dari mana asalnya. Aku berhenti melangkah.

"Ssstt... Tiara, kau mendengarnya, bukan?" tanyaku setengah berbisik.

"Ya, tapi suaranya lemah. Mungkin suaranya jauh dari sini," ujar Tiara mengira-ngira.

"Kira-kira suara apa itu?" lanjutku, "Mungkinkah suara hantu?"

"Jangan ngomong yang enggak-enggak deh," ucap Tiara ketakutan.

Tiba-tiba suara dentungan itu lenyap. Suasana kembali sunyi. Kami mulai melanjutkan perjalanan.
Lorong mulai berkelok-kelok. Dasar goa juga mulai tidak rata dan banyak batu-batu berserakan. Terlihat sedikit mengerikan.

Sudah beberapa menit kami berjalan. Tetapi belum menemukan ujungnya. Kulihat Tiara sudah mulai kelelahan.

"Hey, kau tidak apa?" tanyaku sambil memegang pundak Tiara.

"Hhh... Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah."

"Bagaimana jika kita istirahat dulu. Sepertinya lorong ini masih panjang," ajakku.

"Ya, baiklah...."

*Brukk*

Aku dan Tiara seketika duduk di sisi lorong. Bersandar pada dinding goa. Akhirnya kami bisa menghela nafas dan duduk.

"Huuh. Lelah juga rupanya...," ujarku sambil meluruskan kaki.

"Aku pun juga begitu."

Karena sangat kelelahan, tubuhku sengaja ku miringkan dan sampai terlentang. Rasanya, aku ingin tidur karena lelah menghinggapiku.
Saat aku melihat langit-langit, terlihat ada sesuatu yang menggantung. Tapi, apa?
Karena penasaran, aku lalu berdiri dan coba meraih benda itu. Tidak sampai, sepertinya aku harus melompat.

*Tap!*

*Sreekk*

Aku berhasil meraihnya.
Ohh hanya seutas tali. Tapi belum sepenuhnya tertarik keluar. Kira-kira, tali apa ini?

*Grrreeegg*

Saat aku bertanya-tanya, dinding goa di sisi seberang mulai bergeser. Membentuk persegi panjang. Dan akhirnya dinding pun berlubang.

"Apa itu?!" tanya Tiara terkejut.

"Mungkin, sebuah pintu...!", "Ayo Tiara, kita coba lihat."

Kami pun menghampiri pintu itu dan berhenti di ambang pintu. Di dalam sangat gelap, tak terlihat apapun.

"Maukah kau masuk bersamaku?" ajakku pada Tiara.

"Entahlah, Dika. Begitu gelap di dalam," ujar Tiara agak gelisah.

Akhirnya ku beranikan diri untuk masuk ke dalam. Jantungku berdegup. Tiara hanya berdiri diam di ambang pintu.
Saat aku mulai melangkahkan kaki ke dalam, aku sedikit ragu. Tapi aku beranikan terus untuk masuk ke dalam.

*Tap!*

Seketika suasana menjadi terang setelah aku masuk. Ini adalah... sebuah ruangan!
Ada meja, kursi, lemari, kasur dan peralatan makan juga ada di atas meja. Tapi, untuk apa ada barang-barang seperti ini di bawah tanah. Dan yang terpenting... untuk siapa.
Kulihat dari dalam, Tiara hanya berdiri tegak dengan pandangan yang menjalar ke seluruh ruangan. Sepertinya dia juga masih tidak percaya.

"Lihatlah semua barang-barang ini Tiara," ujarku dengan kagum.

"Apa ini betulan?" tanya Tiara.

"Tentu saja, kau kira ini apa? Cepat masuk," ajakku mendahului.

Tiara lalu masuk dengan perlahan. Pandangannya masih tertuju ke segala sisi ruangan. Kurasa dia terkejut.

"Mari kita periksa semua yang ada disini," ucapku memecah lamunan Tiara.

"Ya, ayo Dika!" Tiara nampak bersemangat.

Kami mulai memeriksa ruangan kecil ini. Dari yang di langit-langit sampai yang ada di dasar lantai kami perhatikan. Kulihat Tiara membuka lemari kecil di samping kasur.

"Waaaaahh... Dika, Dika! Coba lihat ini, coba lihat apa yang kutemukan!" Tiara berteriak dengan semangat dan gembira.

Aku cepat-cepat menghampiri Tiara dan coba melihat ke dalam lemari kecil yang Tiara temukan. Dan ternyata... Waaaahh...

-- Bersambung --
Previous
Next Post »