Aku, Misteri dan Pembalasan #9

#9 Cerita Tiara


"Waaaaahh... Dika, Dika! Coba lihat ini, coba lihat apa yang kutemukan!" Tiara berteriak dengan semangat dan gembira.

Aku cepat-cepat menghampiri Tiara dan coba melihat ke dalam lemari kecil yang Tiara temukan. Dan ternyata... Waaaahh...

Ini adalah lemari persediaan makanan. Banyak sekali makanan kaleng, biskuit, jus kemasan dan... waahh pokoknya banyak. Siapa yang menyediakan ini dan siapa pula yang memakannya. Cukup banyak konsum disini, bahkan untuk berminggu-minggu.

*Krucuk... krucuk*

"Dika, aku lapar...," ujar Tiara memelas.

"Ayo kita sikat saja selagi ada makanan!" Seruku sambil mengambil beberapa makanan kaleng dan jus.

Tongkat pemukul yang dipegang Tiara langsung dia lempar saja ke atas kasur. Tiara juga ikut membantu mengambilkannya. Beberapa makanan yang kami ambil langsung kami taruh di atas meja makan.

*Klontang... klontang... bruukk*

Gaduh sekali suara di ruangan ini karena ulah kami berdua. Makanan kalengan ini semuanya sudah siap saji tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Ada asinan, daging asap, biskuit, jus buah segala macam, pokoknya banyak.

"Jika ada makanan kaleng, pasti ada alat pembuka kalengnya... Tapi dimana ya?" Aku mencari-cari alat pembuka kaleng.

Dan benar saja, di dalam lemari kecil tadi tergeletak pembuka kalengnya. Aku langsung melompat ke atas kursi di depan meja makan. Tiara sudah sedari tadi duduk dengan kaki yang terayun-ayun menungguku membuka makanan kaleng ini.

"Ayo, Dika. Cepat buka, cepat!"

"Iya iya tunggu dong, Tuan Putri."

Aku bergegas membuka semua makanan yang ada di atas meja. Lalu Tiara mengambilkan piring, sendok dan garpu yang ada di dalam rak piring.

"Kau mau yang mana, Tiara?" tanyaku.

"Daging sapi...!"

Setelah aku membukakan kalengnya lalu ku tuang ke atas piring. Tanpa kusadari, pintu masih terbuka lebar. Tiara makan dengan lahapnya, bisa-bisa dimakan nanti aku jika aku mengganggunya.

"Bagaimana jika kita tutup saja pintunya. Untuk berjaga-jaga agar tidak terlihat oleh 2 orang yang belum kita ketahui tadi," saranku sembari menuangkan makanan lain ke atas piring.

"Ywaa. Lwwebih Bwaik begitu," ujar Tiara dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Heh. Kalau mulut lagi penuh, jangan bicara dulu."

"Mwau bwagaimana lagi? Aku lapar."

"Huh, dasar...."

Aku beranjak dari kursi dan menuju pintu.
Hmm... pintu yang unik. Pintu ini memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi luar terbuat dari batu yang menyerupai dinding goa, sedangkan pintu sisi bagian dalam terlihat layaknya seperti pintu kayu biasa pada umumnya.
Sebelum ku tutup pintunya, aku menyempatkan diri melihat keadaan di luar. Aku melangkah keluar tapi tidak jauh dari pintu. Kepalaku menengok ke kanan dan ke kiri. Hii, sunyi sepi. Lampu di langit-langit tidak begitu terang menyala, beda sekali dengan cahaya di dalam ruangan yang cukup terang. Lorong yang berkelok-kelok dan gelap terlihat menyeramkan. Hii... merinding aku dibuatnya. Sekali lagi aku menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada siapa-siapa.
Setelah kupastikan aman, lalu ku geser pintu ini hingga tertutup rapat. Lihat... pintu ini ada kuncinya. Lebih baik ku kunci saja.
Aku langsung kembali ke meja makan. Aduhh... perutku lapar sekali, aku belum makan sedikitpun tadi. Saat duduk di kursi, kulihat Tiara masih makan dengan lahapnya.

"Astaga! Baru kutinggal sebentar, sudah 4 kaleng makanan kau habiskan?!"

"Hehehe, makanannya enak," jawab Tiara dengan polosnya.

"Kalau sedang lapar memang semuanya menjadi enak. Kenapa tidak kau makan juga pintu ruangannya?"

"Pintu itu bagian untukmu, Dika."

"Kalau aku makan pintunya, lalu kamu mau makan apa? Mau makan lemarinya? Haha."

"Huuh, bawel." Tiara langsung menyumpalkan daging ke mulutku.

"Makan tuh biar enggak bawel lagi!"

"Enak juga makanannya," ujarku sambil membuka kaleng makanan yang lain.

Tak lama, aku langsung menyusul makan. Ya memang benar-benar enak. Jarang sekali aku makan makanan begini. Haha kalau Roy pasti akan semangat sekali menghabiskan semuanya.
Ehh... oh iya, Roy...
Keadaan menjadi semakin sulit, Roy.
Kecepatan makanku melambat. Tiara melihatku dengan kepala yang dimiringkan.

"Dika... Kau sudah kenyang?" tanya Tiara gelisah.

"Eh, hehe. Belum kok, ayo kita lihat lebih cepat siapa yang menghabiskan makanan terlebih dahulu yang ada di atas meja!" Seruku bersemangat.

"Jadi kau menantangku? Ayo!!" Tiara ikut berseru sambil mengangkat garpu yang digenggamnya tinggi-tinggi.

Kami berdua mulai makan kembali dengan serunya. Semua kaleng dan jus kemasan di atas meja kami buka. Siapa cepat yang membuka, dia yang makan.
Tiara terlihat sangat cepat sekali makannya, tapi aku juga tidak mau kalah.
Huuh, untungnya saja Tiara tidak menyadari pikiranku tadi. Aku tidak ingin Tiara ikut khawatir soal Roy. Aku ingin melihatnya selalu tersenyum dan tertawa dengan cantiknya.

Tanpa waktu yang lama, makanan dan minuman yang ada di atas meja habis ludas masuk ke dalam lambung kami. Kaleng dan kemasan jus berserakan di atas meja. Kami hanya bisa bersandar malas di atas kursi dengan perut yang kekenyangan.

"Bisa gemuk aku kalau tiap hari makan yang seperti ini," kataku dengan kepala yang bersandar di kursi.

"Kok aku tidak gemuk-gemuk ya?" tanya Tiara dengan kepala yang bersandar di kursi juga.

"Bukannya perempuan lebih suka tubuh yang langsing? Kok kamu malah milih jadi gemuk?"

Tubuh Tiara memang lebih pendek dariku. Tingginya hanya sepundakku. Dan posturnya juga sudah cukup ideal untuk seorang wanita. Aku heran, kenapa dia memilih untuk lebih gemuk lagi. Memang... wanita...

"Entahlah, kurasa dengan ukuran tubuhku yang segini rasanya belum cukup," jawab Tiara dengan menatap kedua pergelangan tangannya.

"Haha iya deh, terserah kamu aja." Kataku, lalu berdiri dan mengusap kepala Tiara.

Jam di tangan Tiara sudah menunjukkan pukul 8 malam, tak terasa kami melewati waktu bersama di dalam sini. Tubuh kami mulai kelelahan, anggota tubuh sepertinya ingin berontak untuk berbaring. Tak ada pilihan lagi kami memang harus beristirahat sebentar disini.

"Kau terlihat lelah, yuk kita istirahat," ujarku lali berdiri dari kursi.

"Kita berdua? Di atas ranjang itu?!"

"Tentu saja tidak, aku akan berbaring di sebelah ranjang itu dan kau bisa tidur diatas ranjang," usulku.

"Baiklah... Awas saja jika tiba-tiba kau naik keatas kasur, tongkat pemukulku sudah siap menanti di sana," ucap Tiara menggeretak.

"Iya, iya bawel."

Tiara lebih dulu naik ke atas kasur, sedangkan aku lebih memilih untuk merapikan kaleng-kaleng dan piring di atas meja. Terlihat sangat berserakan karena kelakuan kami berdua.
Seragam putihku sangat kotor, ahh biarkanlah. Siapa peduli.
Saat kulihat lagi Tiara, hmm... manis juga kalau dilihat jika sedang tidur. Aku memilih tidur di samping ranjang, takut-takut jika nanti ada apa-apa. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku langsung bisa menolong Tiara. Seperti jika ada orang asing yang masuk kesini.
Padahal baru jam segini, tapi mataku rasanya sudah... ahh sangat lelah.
Seketika aku bersandar di bawah, di samping ranjang.

"Dika, kau belum tidur?" Tiara berkata dengan tiba-tiba.

"Eh, kukira kau sudah tidur," jawabku kaget.

"Belum, aku ingin bercerita sesuatu padamu," ucap Tiara dengan nada takut.

"Cerita apa? Menyangkut tentang yang kau janjikan itu?" tanyaku memastikan.

"Ya, tentang bagaimana aku masuk ke dalam toilet saat kau berkelahi, tentang ruang bawah tanah ini, dan tentang lainnya yang aku belum bisa mengerti," ujar Tiara serius.

"Baiklah, ceritakanlah semuanya."



Aku, Misteri dan Pembalasan
sumber : varthamalayalam.com


"Ingatanku samar-samar, mungkin ceritaku agak kurang jelas..."

"Samar-samar...?" kataku dalam hati.

Lalu Tiara pun melanjutkan cerita yang dialaminya, "Hari ini, pagi ini, saat aku kembali dari kantin untuk masuk ke dalam kelas, aku membawa jajanan dari kantin yang belum kuhabiskan. Saat makanan itu habis, ku buang bungkusnya ke dalam bak sampah, tetapi sayangnya tidak masuk karena kulempar dari jarak yang cukup jauh. Pada waktu yang sama, Bu Prin melihatku melakukan itu. Dia kira, aku membuang sampah sembarangan. Padahal itu tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan...."

"Ha? Bu Prin? Lalu terus?" tanyaku penasaran.

"Mulai dari situ, ingatanku menjadi samar-samar. Seingatku, aku dipanggil ke ruang BK. Tetapi, aku tidak ingat apa-apa lagi. Lalu ingatanku menyambung ke tempat gelap dengan cahaya yang minim, seperti di bawah sini. Yang ada dipikiranku saat itu adalah bagaimana caranya lari, lari, lari, dan terus berlari. Sampai aku tiba-tiba berdiri di sebuah taman. Tepatnya, taman sekolah tadi yang kita lalui.

"Ingatanku mulai hilang lagi. Dan tiba-tiba, aku berada di ruang klub baseball, itu ruangan klubku. Ada tongkat pemukulku di sana, jadi kuambil untuk kubawa pulang. Saat aku keluar dari ruangan klub, aku melihat ada orang tinggi berjubah hitam berlari sambil merunduk di koridor sekolah. Ingatanku berkata, aku pernah melihat orang itu. Jadi aku ikuti dia diam-diam kemana dia pergi. Sampai pada akhirnya aku berhenti di depan toilet laki-laki. Aku mendengar keributan di dalam, ternyata ada anak laki-laki yang sedang berkelahi dengan orang berjubah itu. Anak laki-laki itu adalah kau. Tanpa pikir panjang, aku lekas memukul orang berjubah itu. Dan kau tau bagaimana kelanjutannya...," Tiara berhenti bercerita.

"Tunggu, mengapa kau bisa tidak ingat beberapa hal yang kau ketahui?" tanyaku sambil menggaruk kepala.

"Aku juga tidak tau. Sepertinya aku juga seperti dikendalikan oleh tubuhku sendiri. Menuju ruangan klub juga bukan kehendakku, aku seperti tertidur, lalu terbangun, tertidur lagi, lalu terbangun lagi. Hingga aku sadar sepenuhnya saat bertemu kau. Tetapi, saat aku mengingat hal yang ingin kuingat rasanya kepalaku sangat sakit. Aduh... duh...," Tiara meringis kesakitan.

"Eh, eh, Tiara. Kau kenapa?" Aku langsung bergegas berdiri lalu melihat keadaan Tiara.

"Tidak apa-apa. Kepalaku hanya sakit setelah memikirkan keras ingatan tadi," ucap Tiara sambil memegang kepalanya.

"Lebih baik kau tidur sekarang. Sudah, jangan terlalu dipikirkan dulu," ujarku sembari membaringkan Tiara kembali.

"Baiklah, Dika."

Setelah Tiara kembali tertidur, aku pun kembali terduduk dan bersandar pada ranjang kasur. Aneh sekali rasanya, semua ini terjadi begitu cepat.
Aku mulai berbaring dengan kedua tangan yang menopang kepala dan menatap langit-langit ruangan.
Pertama, teman-temanku. Kedua, Roy. Lalu pria berjubah dengan topeng jeleknya. Sekarang, aku bertemu dengan seorang perempuan.
Ada apa sih sebenarnya.
Pusing sekali kepalaku memikirkan itu semua. Tunggu, sepertinya aku lupa sesuatu. Tapi apa itu? Oh iya... tentu saja!
Bu Linda!!!
Astaga, bodoh sekali aku! Bagimana dengan jasadnya yang sekarang. Pasti seisi sekolah akan heboh akan penemuan mayat Bu Linda. Dasar... bodoh, bodoh, bodoh.
Bagaimana aku bisa lupa. Padahal kan aku bisa meminta bantuan Pak Dudung tadi. Oh ya! Pak Dudung juga tak ada di tempatnya tadi.
Sebenarnya kemana dia.
Sudahlah, kepalaku sudah pusing memikirkan ini semua.

Kelopak mataku mulai memberat. Perlahan mataku mulai menutup. Entah akan kemana lagi kami setelah ini.

***

*Tang... tang... tang...*

"Hah? Suara apa itu?" Aku bangun karena kaget mendengar suara yang aneh itu.

Awalnya aku bingung, dimana aku. Setelah mengingat lagi, rupanya aku sedang berada di bawah tanah, bersama Tiara.

"Lagi-lagi suara itu. Sebenarnya suara apa itu?" tanyaku dalam hati.

Kulihat Tiara masih tertidur pulas di atas kasur. Nyenyak sekali anak itu tidur. Pukul berapa ini? Yang pasti masih malam.
Aku mencoba untuk tidur lagi.
Tapi... ah aku tidak bisa tidur. Masih terpikir suara apa tadi itu.
Akhirnya aku memilih untuk berjalan keluar sebentar tanpa membangunkan Tiara. Aku tidak ingin tidurnya terganggu.
Setelah menggeser pintu, akhirnya aku keluar. Menutup pintunya dan mengingat dimana letak tali yang menggantung untuk membuka pintu geser itu. Agar lebih memastikan lagi, di depan pintu ku taruh satu kaleng bekas makanan tadi. Jadi aku tidak perlu repot terus-menerus mendongak keatas untuk mencari tali pembuka pintu.

Aku memilih berjalan melawan arah dari mana kami tadi. Karena perjalanan kami terhenti disini.
Ku mulai langkah kaki ini sendirian. Semakin berantakan bentuk goa ini, beda sekali dengan yang di tempat batu segitiga tadi. Kerikil dan batu-batu berserakan di sisi goa. Lantai goa juga tidak rata. Tetapi disini hangat, dan juga agak gelap.

*Tang... tang...*

Ha, terdengar lagi suara dentungan itu. Sangat lemah suaranya. Ya, memang jauh sumber suaranya dari tempat aku berdiri. Kucoba untuk mengikuti arah kemana goa ini berlanjut. Rasa kantuk tadi benar-benar sudah lenyap termakan rasa penasaranku.
Seperti biasa, lorong berkelok-kelok. Dan juga sepertinya aku sudah cukup jauh dari ruangan dimana Tiara tertidur.
Tak lama selagi aku berjalan, lorong sampai pada ujungnya.

"Lorongnya berakhir sampai disini," ujarku dalam hati.

Cahaya lampu tidak sampai ke ujung, sehingga ujung lorong ini gelap. Sepertinya aku harus kembali ke ruangan tadi.
Sesaat, aku melihat sesuatu yang menempel pada dinding ujung goa dimana goa ini buntu. Aku terus memperhatikan benda itu dalam cahaya yang sangat minim. Pada sampai akhirnya ku pegang saja benda itu. Ini seperti pipa...
Saat ku ketuk benda itu terdengar bunyi.

*Tuung*

Ini bukan pipa, melainkan batang bambu yang menempel pada dinding goa. Kucoba meraba bambu itu dalam gelap. Dan ternyata ada dua bambu yang berdekatan yang mengarah keatas. Kuraba lagi keseluruhan bambu itu sampai akhirnya aku tau apa itu.
Itu adalah tangga!
Tangga bambu yang mengarah keatas. Aku pun mencoba menapaki tangga itu. Akan dibawa kemana aku. Tanpa pikir panjang, aku langsung memanjat ke atas mengikuti arah bambu itu.

-- Bersambung --


Previous
Next Post »